Sabtu, 02 Juni 2012

Memaknai Kearifan Lokal

Filled under:

Bismillahirrahmanirrahim...



Bagi Mahasiswa atau pemerhati sosial budaya yang study major-nya adalah di bidang sosial dan humaniora, tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. kearifan lokal atau Local Wisdom. Sering di definisikan sebagai sebuah budaya laten yang tertanam dalam suatu masyarakat dalam kurun waktu yang lama. berbentuk pengetahuan tentang Alam atau magis, mitos, dan sakraliras sakralitas lainnya. sebut saja misalnya ketika tsunami melanda Aceh pada tahun 2004. salah satu daerah yang paling terkena imbasnya adalah simeulue, letak geografisnya dan bentuk kepulauannya menjadi sasaran terjangan tsunami paling parah. namun menariknya, dengan keadaan porak porandanya simeulue tidak kehilangan banyak penduduknya seperti yang dialami kota kota dan daerah terjangan tsunami lainnya. setelah di telusuri lebih lanjut, ternyata masyarakat simeulue, masih memegang teguh petuah dari nenek moyang terdahulu. isinya adalah jika gempa besar terjadi dan air laut surut, maka larilah ke tempat yang tinggi. karena di khawatirkan terjadinya "ie beuna" atau "smong", sekarang lebih dikenal dengan nama jepangnya "tsunami".

instrument lainnya, juga terdapat kitab "Tajul Muluk" atau "Petak Bumi", adalah kumpulan astrologi zaman silam, khususnya masyarakat melayu kuno. berisi alamat alamat atau pertanda dari gejala gejala alam yang terjadi, Hari baik, tabiat dan takwil mimpi. merujuk ke kitab ini, disebutkan bahwa jika sekiranya terjadi gempa kuat di pagi hari minggu, maka alamat Bala akan datang dari Air. Entah ini kebetulan atau tidak, menariknya pada halaman pertama kitab ini tertulis "Kitab ini dibaca boleh, diimani jangan. barangsiapa mengimani kita ini, maka sesatlah ia".  :-)


Bentuk kearifan lokal bisa jadi merupakan wujud dan teori 
"challenge and response" Arnold F Toynbee,ahli sejarah modern. Lingkungan menantang masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya menanggapi dengan sukses tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif ini kemudian diikuti oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru kemudian muncul, diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. dan saya rasa yang terjadi pada masyarakat simeulue adalah ajaran ajaran untuk menjaga kelestarian alam, keseimbangan natural sebagai result nyata dari hal tersebut. Alam mengajarkan segalanya.

barangkali, mempertimbangakan kearifan lokal dan kearifan global adalah issu yang sangat menarik di bahas,. bagaimana di saat kearifan global perlahan lahan menggerogoti kearifan lokal. teman teman sosiologi saya pernah mempresentasikan makalah tentang hal ini., ketika budaya khas di serang oleh oleh budaya "global" yang menawarkan kemajuan tekhnologi dan kebebasan. instrument instrument kearifan lokal semakin ditinggalkan. dan "memaksa" masyarakat untuk rasional dan mengikuti arah fungsionalnya, dimana masyarakat merasa apa yang di katakan T.Parsons tentang AGIL bisa di peroleh dengan meneriman kearifan global dan modernisasi.

secara pribadi, saya tidak anti dengan menyusupnya gobal wisdom ke dalam suatu masyarakat, selama masyarakat tersebut bisa memilah dan memilih. karena sejatinya local wisdom tidak semata mata harus instrumental, selama hakikat atau esensi dari kearifan lokal tersebut tidak hilang.

dan barang tentu kita sebagai generasi muda mahasiswa mencoba untuk menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada agar tidak hilang ditelan perkembangan jaman. Bahkan hal ini menjadi suatu tantangan untuk mensinergikan kearifan lokal dengan perkembangan jaman maupun teknologi. Dengan adanya sinergi ini diharapkan teknologi dapat lebih banyak memberikan added value atau nilai tambah yang berupa manfaat daripada mudharat bagi penggunanya.


*zia muntazar

0 komentar:

Posting Komentar