Rabu, 06 Juni 2012

Khawatir : Punahnya bahasa Aceh

Filled under:

" Bismillahirrahmaniirahim..
di tengah tengah gejolak transisi dan modernisasi Aceh, apakah kita akan melupakan bahasa Aceh? "



Bahasa adalah salah satu tanda pengenal atau KTP sebuah entitas kumpulan manusia atau bangsa. Keberadaan bahasa, baik tutur sekaligus lisan juga menjadi identitas sebuah bangsa. Bahasa  bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar. bahwa Bahasa Aceh bisa jadi akhirnya berada dalam daftar komunikasi verbal 
Maka concern kajian kita kali ini lebih mengkaji sekaligus mendorong agar BA menjadi bagian dari apa yang sering disebut oleh Michael Foucault, tokoh kritis Prancis (1926-1984) dengan “public discourse” atau wacana publik hingga berujung pada politik bahasa atau kebijakan bahasa.
Pascadamai, ada secercah harapan bahwa BA akan mendapatkan ruh baru. Apalagi kemudian kandidat independen yang berafiliasi ke eks-GAM dan Partai Aceh sebagai wujud transformasi perjuangan kombatan yang sangat kental nuansa nasionalisme keacehannya mendominasi pemerintahan di seluruh Aceh dari tingkat kabupaten/kota sampai gubernur. Namun, ternyata realita malah tidak memihak. BA bahkan tidak menjadi prioritas para politisi, karena memang barangkali menurut mereka bahasa, dalam hal ini BA, tidak mempunyai efek langsung terhadap proses politik. Padahal dasar hukum dalam UUPA sudah mengonfirmasi dengan tegas pentingnya BA (dan juga bahasa-bahasa daerah lain di Aceh) dalam masyarakat Aceh pascakonflik, meskipun  bunyinya hanya mencakup sampai pengajaran bahasa sebagai muatan lokal (mulok) di pendidikan sekolah. Padahal BA dulu sempat memainkan peranan internal penting bagi perkembangan bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia sendiri (Durie, 1996).
Pada pilkada 2012 malah tidak ada kandidat calon tingkat propinsi yang menggaungkan penyematan prioritas pada keselamatan bahasa.
Berdamai bukan berarti melupakan identitas kebahasaan. Bahasa terkesan kecil, tapi ia sangat penting dalam proses interaksi sosial, termasuk politik. Pada kenyataannya, di tengah arus invasi budaya dan globalisasi, membuat BA tidak bergengsi di mata peserta didik. Apalagi pada prakteknya sekarang, jumlah jam pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah di Aceh hanya dua jam (atau 2×45 menit) dan sifatnya juga pengayaan (remedial), tidak wajib dan tambahan, sehingga urgensi dan keseriusan menjaga BA agaknya diragukan. Berbeda dengan bahasa lainnya, yaitu Bahasa Indonesia, Inggris, Arab yang kemudian wajib dimasukkan ke dalam daftar mata pelajaran di Ujian Akhir Nasional (UAN) atau Ujian Akhir Semester (UAS).
Dan opini untuk membentuk fakultas, atau jika terlalu berat jurusan dululah, di kampus dan pendidikan tinggi yang membidangi bahasa, sastra dan sejarah BA bisa menjadi penyeimbang kesenjangan ini. Fakta sosial lain, khususnya di kota besar ada yang menyebutkan bahwa BA adalah bahasa tutur yang kesannya ‘kampungan’ dan tidak diperlukan. Pada film film komedi aceh, sebut saja Eumpang breuh, tokoh Yusniar di imajinasikan dengan sifat cantik, baik hati dan populis. namun agak kurang pada segi penggunaan langgam bahasa yang di gunakan. "meuklidoe" di imajinasikan sebagai modernitas dan wakil dari sifat yusniar yang populis protagonis. sebaliknya pada tokoh Jonny dan Mando, pemakaian bahasa/dialek/langgam normal di asosiasikan dengan hal yang kuno dan kampungan, kentara dari penggambaran Mereka yang lusuh dan kumuh.
Oleh karena itu, perlu usaha untuk menjadikan BA sebagai salah satu agenda (yang dianggap) penting oleh para pengambil kebijakan (politik). Sehingga ia bergulir menjadi isu dalam arus utama dan mengemuka menjadi bahan, topik, diskusi dan diskursus masyarakat secara umum. 
Karena tetap saja jika pemerintah kita sekarang yang katakanlah nasionalisme keacehannya tinggi, tidak mau serius melindungi BA dari tekanan dunia global, maka patut dipertanyakan politik identitas keacehan mereka. Menunggu dari masyarakat adalah satu opsi, sebagaimana usul agar lagu, video, siaran berbahasa Aceh digalakkan. Namun tanpa kebijakan politik bahasa penguasa itu semua tidak akan punya dampak luas, kecuali kalau hanya diniatkan untuk eksistensi belaka. Padahal, bahasa dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan (Fairclough, 1989), khususnya dalam menentukan satu standar resmi bahasa.
Bermimpi menjadikan BA sebagai bahasa internasional mungkin fana. Reaktivasi peran Balai Bahasa Aceh dan Lembaga Bahasa Kampus yang selama ini lebih sibuk ke pengajaran bahasa asing juga penting. Mungkin dulu mereka menganggap bahwa BA sudah dikuasai dengan baik oleh masyarakat atau mungkin karena BA tidak profitable dalam bisnis bahasa. Nasionalisme keacehan hanya akan dirasa semu, jika BA tidak lama lagi hilang dari peredaran. Pun lagi, tokoh-tokoh yang fokus dalam BA sudah uzur dan sosok yang mengerti dan paham BA juga relatif minim. Hanya pak A. Gani Asyik dan Razali Cut Lani.
Selain itu nyaris tidak ada, kecuali orang asing seperti Mark Durie, John Bowen atau mungkin Snouck Hurgronje. Ukuran nasionalisme keacehan hanya berkutat pada euforia politik. Kita pun tidak sadar bahwa koleksi buku-buku Aceh di KITLV Universitas Leiden Belanda (acehbooks.org) sebenarnya adalah pencurian intelektual penjajah atas nama hegemoni kolonialisme. Plus Cornell University Library yang menjadi Mekkah-nya para sarjana yang ingin belajar tentang Aceh dan BA.
Sezalim-zalimnya Soeharto, ia pernah membuat kampanye penelitian bahasa dan sastra nusantara, termasuk di Aceh sejak 1976 sampai tahun 1990-an. Terlepas proyek tersebut sarat muatan politis dan merupakan strategi anti-separatisme dan penguatan dominasinya, itu cukup menjadi bukti objektif bahwa ia punya kebijakan politik bahasa. Ideologi, politik, dan bahasa sebagaimana yang dipercayai (Ricento, 2000: 1:9) dan anjuran Rasulullah SAW agar kita belajar bahasa adalah bagian dari nasionalisme keacehan. Euforia nasionalisme keacehan harus dibarengi dengan semangat menjaga dan menjadikan BA sebagai wacana publik.
Karena harus diakui, sebagai bangsa minoritas, politik bahasa dan menjadikan BA sebagai wacana publik adalah keniscayaan jika tidak ingin salah satu unsur eksistensi keacehan akan hilang. (*)

 

Posted By UnknownRabu, Juni 06, 2012

Sejarah Etnis Aceh

Filled under:



" Bismillahirrahmanirrahi...
 saleum seumapa rakan ban mandum,
 Banyak sekali versi dan ragam pendapat soal sejarah ke etnis-an Aceh. di postingan ini, ada beberapa yang saya kutip dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi saya dan bagi rakan juga pastinya "





Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar, yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa masih sebagai kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) merupakan inti Kerajaan Aceh (Aceh proper) dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang oleh Belanda dinamakan Onderhorigheden. Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh. Sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.

Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Drussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).
Hingga saat ini belum ada satu kepastian konkret mengenai asal muasal dan kapan istilah Aceh mulai digunakan karena data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tersebut tidak ditemukan. Infromasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah popular yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchindan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh, namun sumber-sumber tersebut bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda.
K.F.H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh berjudul De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat (Susunan Pemerintah Aceh Semasa Kesultanan) yang dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul Lets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het Voormalig Sultanaat in Atjeh (Serba-serbi Tentang Asal-Usul Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanaan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu yang asal-usulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini, dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh, meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatif bahasa Batak dan Gayo.
Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouck Hurgronje, Judul pranala dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya.
Seorang ulama Aceh terkenal pada abad XIX , yaitu Teungku Kutakarang yang popular dengan sebutan Teungku Chik Kutarakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya pencampuran dengan suku-suku bangsa lain seperti India dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias, India, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal-usulnya, etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552).
Keempat kawom atau sukee tersebut, yaitu :
  • Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
  • Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
  • Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka bersal dari berbagai etnis, pendatang dari baerbagai tempat.
  • Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya, akibat asal-usul yang berbeda, keempat kawom ini seringkali terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawom ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesame kawom cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawom-kawom tersebut.
Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu identitas politik dan budaya mulai terbentuk semenjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang dilanjutkan dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal karena eksodusnya pada pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, dan juga berubahnya rute perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan.


Posted By UnknownRabu, Juni 06, 2012

Sabtu, 02 Juni 2012

Memaknai Kearifan Lokal

Filled under:

Bismillahirrahmanirrahim...



Bagi Mahasiswa atau pemerhati sosial budaya yang study major-nya adalah di bidang sosial dan humaniora, tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. kearifan lokal atau Local Wisdom. Sering di definisikan sebagai sebuah budaya laten yang tertanam dalam suatu masyarakat dalam kurun waktu yang lama. berbentuk pengetahuan tentang Alam atau magis, mitos, dan sakraliras sakralitas lainnya. sebut saja misalnya ketika tsunami melanda Aceh pada tahun 2004. salah satu daerah yang paling terkena imbasnya adalah simeulue, letak geografisnya dan bentuk kepulauannya menjadi sasaran terjangan tsunami paling parah. namun menariknya, dengan keadaan porak porandanya simeulue tidak kehilangan banyak penduduknya seperti yang dialami kota kota dan daerah terjangan tsunami lainnya. setelah di telusuri lebih lanjut, ternyata masyarakat simeulue, masih memegang teguh petuah dari nenek moyang terdahulu. isinya adalah jika gempa besar terjadi dan air laut surut, maka larilah ke tempat yang tinggi. karena di khawatirkan terjadinya "ie beuna" atau "smong", sekarang lebih dikenal dengan nama jepangnya "tsunami".

instrument lainnya, juga terdapat kitab "Tajul Muluk" atau "Petak Bumi", adalah kumpulan astrologi zaman silam, khususnya masyarakat melayu kuno. berisi alamat alamat atau pertanda dari gejala gejala alam yang terjadi, Hari baik, tabiat dan takwil mimpi. merujuk ke kitab ini, disebutkan bahwa jika sekiranya terjadi gempa kuat di pagi hari minggu, maka alamat Bala akan datang dari Air. Entah ini kebetulan atau tidak, menariknya pada halaman pertama kitab ini tertulis "Kitab ini dibaca boleh, diimani jangan. barangsiapa mengimani kita ini, maka sesatlah ia".  :-)


Bentuk kearifan lokal bisa jadi merupakan wujud dan teori 
"challenge and response" Arnold F Toynbee,ahli sejarah modern. Lingkungan menantang masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya menanggapi dengan sukses tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif ini kemudian diikuti oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru kemudian muncul, diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. dan saya rasa yang terjadi pada masyarakat simeulue adalah ajaran ajaran untuk menjaga kelestarian alam, keseimbangan natural sebagai result nyata dari hal tersebut. Alam mengajarkan segalanya.

barangkali, mempertimbangakan kearifan lokal dan kearifan global adalah issu yang sangat menarik di bahas,. bagaimana di saat kearifan global perlahan lahan menggerogoti kearifan lokal. teman teman sosiologi saya pernah mempresentasikan makalah tentang hal ini., ketika budaya khas di serang oleh oleh budaya "global" yang menawarkan kemajuan tekhnologi dan kebebasan. instrument instrument kearifan lokal semakin ditinggalkan. dan "memaksa" masyarakat untuk rasional dan mengikuti arah fungsionalnya, dimana masyarakat merasa apa yang di katakan T.Parsons tentang AGIL bisa di peroleh dengan meneriman kearifan global dan modernisasi.

secara pribadi, saya tidak anti dengan menyusupnya gobal wisdom ke dalam suatu masyarakat, selama masyarakat tersebut bisa memilah dan memilih. karena sejatinya local wisdom tidak semata mata harus instrumental, selama hakikat atau esensi dari kearifan lokal tersebut tidak hilang.

dan barang tentu kita sebagai generasi muda mahasiswa mencoba untuk menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada agar tidak hilang ditelan perkembangan jaman. Bahkan hal ini menjadi suatu tantangan untuk mensinergikan kearifan lokal dengan perkembangan jaman maupun teknologi. Dengan adanya sinergi ini diharapkan teknologi dapat lebih banyak memberikan added value atau nilai tambah yang berupa manfaat daripada mudharat bagi penggunanya.


*zia muntazar

Posted By UnknownSabtu, Juni 02, 2012

Jumat, 01 Juni 2012

Hadih Madja dalam Masyarakat Aceh

Filled under:


Bismillahirrahmanirrahim...

saleum seumapa...

rakan ban mandum..Pada postingan (setelah sekian lama) ini saya akan memaparkan beberapa hadih madja yang pernah saya dengar.  


Hadih Maja atau Nariet Maja ialah suatu perkataan atau pribahasa didalam kehidupan masyarakat Aceh. Hadih Maja ini mengandung unsur filosofis, yang digunakan sebagai nasehat/peringatan/penjelasan atau sindiran halus agar menjadi pedoman didalam menjalani kehidupan. 


berikut ini adalah sedikit dari jutaan hadih madja yang beredar di masyarakat Atjeh :


1. Anéuk dônya jinôë, tuha jih nyôn geutanyôë.
2. Aleè tob beulacan,barangkapéu ta kheun maleè tan(nyang maleè ureung jak sajan).
3. Anéuk sithôn tangkeh, ta peugah meunoë dji kheun meudéh.
4. Asai cabôk nibak kudè, asai pakè nibak seunda.
5. Aseë beu that ta lhat pawôn bak takuë, nyang jih aseë cit.
6. Aseë blang nyang pajôh jagông, aseë gampông nyang keunông geulawa.
7. Ata han jeut ta meunari, ta peugah tika hana gét.
8. Awai buét dudoë piké, teulah ôh akheé keupéu lom guna.
9. Awai ji duék deungôn ji tinggông (Awai ji nyuë deungôn ji duék).
10. Awai geulurông dudôë geu larang, pane ék leukang gaséh ka meusra.
11. Aweuk sabeé lam meusanthôk deungôn beulangông.
12. Bak gob mupakeè bek gata pawang, bak gob muprang bek gata panglima.
13. Bak ië laôt peu tabôh sira.
14. Bak nyang gatai, sinan tagarô (Gatai bak jarôë, tagarô bak gaki).
15. Bak si buta ta yuë béut kitab, bak si bangsat ta yuë meu dôa.
16. Bak ta tunyôk bek meu iséuk, bak ta peuduëk beu meulabang.
17. Bak ta mumat ka patah, bak ta meugantung ka putôh.
18. Bak kareèng pane na gapah.
19. Baranggadum raya ië kruëng, nyéng ge bileung ië kuala
Baranggadum buét rakyat, nyang geu bileung buet raja
20. Bek lageé bôh truëng lam jeu’è, hô nyang singèt keunan meurôn.
21. Bek leupah haba, bah leupah buët.
22. Bek taharap ké teuga gob.
23. Bek ta peurunôë buë méu ayôn (Bek ta peurunôë rimuëng pajôh sië).
24. Bit pih phui bak ta kalôn, geuhôn bak ta tidjik.
25. Bit pih takalôn miseé meu kuwèt, umu lon goh treb aneuk goh lom na.
26. Nyawông saboh, barangkapat pih mateé.
27. Bôh ru pirak geu sawak bak leungké leumô, Sinoë geujak, sideh pih geujak, ’oh meureumpôk sabe pungô.
28.Bôh seureuba rasa, peunajôh ureung dusôn,
Yoh gôh, ta lakeè rasa; ôh ka, ta lakeè ampôn.
29. Bubeè lam ië, ië lam bubeè, Hana ta thèë, cucô ka na.
30. Buét walanca-walance, awai pu buét dudôë pikè.
31. Buét ka keumah, keureuja ka jadéh.
32. Buya kruëng teu dông-dông, buya tamông meuraséuki.
33. Digôb geu criek ija di keudé, digeutanyôë ta criek ija di keuiëng.
34. Digôb nyang na karam di laôt, digeutanyôë karam di darat.
35. Djada wa djadi, méunan ta pinta méunan jadi.
36. Djak teu bungkôk-bungkôk, bak duëk teu leumièk-leumièk.
37. Djampôk pujôë droë.
38. Djarak ta jak le péu ta éu, trèb ta udèp lé péu ta rasa.
39. Djarôë uneun tak, jarôë wiè tarèk.
40. Djirhom geutanyôë deungôn èk leumô, ta rhom jih nyôn èk guda.
41. Duék di gampông wèt-wèt purèh, dilikôt inông maguën.
42. Eungkôt di laôt, asam di darat; musapat lam beulangông.
43. Gaseh, meunyô hana péu ta bri, hana leumah.
44. Get su nibak buët.
45. Geumadè ureung kaya.
46. Geutanyôë grôb, patah pha-pha; laba tan sipadè.
47. Geutanyôë meung ka tuha, sakri han kéumah le.
48. Geutanyôë nyôn syedara, tôë bek, jarak pih bek.
49. Geutak sapat, dua pat lhut. (sigô tak, dua pat lhut)
50. Gôb kab campli geutanyôë nyang kéu-éung
Gob meuanéuk geutanyôë madéung.
51. Gôb séuméusië, geutanyôë tak tuléung.
52. Gôb pajôh bôh panah, tanyôë nyang méuligan géutah.
53. Gôh lom wôë pangkai, ka takira laba.
54. Hana buët mita buët; badan payah, kémiroë téusuët.
55. Hana brat ureung nyang mè, brat ureung kalôn.
56. Hana méugruk-gruk, béuna méugrek-grek.
57. Hana meukab, beuna meukib; hana nyang lé, beuna nyang dit.
58. Hana nyang mé ië méu sidrôë, bandum méu apui.
59. Hana sakèt geutob ngôn rincông, leubeh sakèt géungièng ngôn iku mata.
60. Hana ta tuôh maguën, sikai han sèb, sicupak han abèh.
61. Hana ubat.
62. Harap kéu pagéu, pagéu pajôh padeè; harap kéu jantông, jantông jithôk hateè.
63. Hina bak dônya aréeuta téuh tan, hina bak Tuhan èlemeè hana.
64. Hô taba geulinyuëng gôb bôh.
65. Hu muka.
66. Ija pinggang ija inggôt; urôë tapinggang malam ta limbôt.
67. Ikat leumo lam lampôh gob.
68. Intan saban-saban, haréuga méulaèn-laen.
69. Yôh masa réubông han tatèm ngiëng, ‘oh jeut ke triëng han èk lè ta puta.
70. Ka gadôh lam mata bek gadôh lam hatè.
71. Kayèm tajak géu tiëk situëk, jaréung ta jak taduëk geu bri tika.
72. Karèng thô bilèh léubôt; péunyakèt sôt meu ulang téuma.
73. Ka rôh ta méukat sira lam ujeuën.
74. Kapai di hôë le jalô.
75. Keupëu guna ië padè ka layeè; yôh ku tèm keè han tatèm gata.
76. Kéuréulèng nggang cit ke abéuk, kéuréulèng kuék cit kéu paya, Méung hana lintah ngon cangguëk, pu buët kuék dalam paya
77. Kullu nafsin géubeët di uleè, nyan barô ta theè ta tinggai dônya.
78. Ku ‘o-’o ku déungô han, ji anggôk kuanggôk, ku putrôk han.
79. Laba beuna, pangkai béu that bek.
80. Laba-labôh, meukri jiba meukri tabôh.
81. Lagak lageè udëung tèb, silewèu puntông kupiah phèb.
82. Lagee anéuk dara meutumeè subang.
83. Lagee anéuk buya teungôh cabak.
84. Lageè aseë pungô.
85. Lageè aseë lôb pagéuë.
86. Lageè awéuk ngon beulangông.
87. Lageè bak jôk lam utéuën, masèng-masèng peuglah pucôk drôë.
88. Lageè biëng phô.
89. Lageè bôh mamplam di wië, sikin di unéuën.
90. Lageè jalô ikat bak jalô.
91. Lageè ji réubôh ngôn ië léupië.
92. Lageè éungkôt thô paya.
93. Lageè kajak méunan kawoë.
94. Lageè kamèng jak atéuh bateè.
95. Lageè kamèng kab situëk.
96. Lageè kamèng ji pe ayéum ngôn kulèt pisang.
97. Lageè kamèng èh lam brôh.
98. Lageè manôk kemarôm.
99. Lageè mië sube èk.
100. Lageè mirahpati séuiët. Kemarin jam 14:42 · Suka ·  2
‎101. Lageè rimuëng ek bak kayeè, jeut di èk han jeut dji trén.
102. Lageè si buta ka teu bléut.
103. Lageè ta ngiëng bôh mamplam masak.
104. Lageè ta peurakan rimuëng ngôn kamèng.
105. Lageè ta péutupat kayeè céukôk.
106. Lageè ta côk leumo rhét lam môn, ôh lhéuh ta peu téungôh, ji pék geutanyôë.
107. Lageè tikôh lhéuh lam eumpang bréuh.
108. Lageè ureung mateè peurumôh.
109. Lageè ureung peh tèm.
110. Lageè utôh meunasah, gob péubuët gobnyan péugah.
111. Lam ta khèm-khèm dji céukak.
112. Langkah, raseuki, péu tumôn, maôt; hana kuasa geutanyôë hamba.
113. Léumo ka ék ta bloë, taloë han ék ta péuna.
114. Lhéuh bak buya, meu kumat bak rimuëng.
115. Mamèh bek bagah ta uèut, phèt bek bagah ta ulè.
116. Mangat asoë.
117. Mata uroë sigô sahô; ija barô sigô sapô.
118. Meukrôb-krôb lageè séungkô lam eumpuëng.
119. Méunasu meh-môh méukawen dua.
120. Méung hana angèn, paneè mumèt ôn kayeè.
121. Méung hana peng lam jarôë, séupôt lam nanggrôë peungéuh lam rimba.
122. Méung ka ta keubah, ka mangat bak tacôk.
123. Méung ka na ija barô, ka talô ija tuha.
124. Méung na ta keubah, nakéuh peu tacôk.
125. Méunyô galak ta meuséunda, bek ta kira luka asoë.
126. Méunyô hana sië kamèng, uleè kareèng pih mumada.
127. Méunyô utôh peulaku, bôh labu jéut keu asoë kaya.
128. Méunyô ta béunci cit lé peu dalèh, méunyô ta gaséh salah pih beuna.
129. Muka lageè mië pajôh anéuk.
130. Mumèt ôn kayeè lon téupeu cicèm, teusinyôm teukhèm lôn teupéu bahsa.
131. Nabsu kéu putik, ta cukô misè.
132. Nibak pagéu kông jeunerôp, nibak syèdara kông gob.
133. Nibak sihèt bah rhô.
134. Nibak ta aseèk, gét ta anggôk; béuthat brôk-brôk asai ka na.
135. Nit pih sèb, le pih habeh.
136. Nyang blôë buta, nyang publôë tulôë.
137. Nyang na bek ta péutan, nyang tan bek ta péuna.
138. Ôh lhéuh lhôk kôn dhéu.
139. Buèt ka dileè jinôë barô kéumah.
140. Panè meusu jarôë ta téupôk siblah.
141. Pèng abèh gasèh pih kuréung, péu lôm tatuëng kamôë ka hina.
142. Péu méunôë péu méudeh, bu han lét padeè abèh.
143. Péu payah méung ta pét, pula cit ka gob.
144. Péuleupië hateè.
145. Péunyakèt tablôë, utang ta péuna.
146. Peurôh-rôh drôë lageè eungkôt lam cawan.
147. Prang gôh jéut kuta ka réulôh, musôh goh trôh geutanyôë ka cidra.
148. Réudôk na ujéun tan.
149. Sabab lham bak djôk, téubôh lham beusôë, Sabab sidroë ureung brôk, busôk ban sabôh nanggrôë
150. Sayang kéu sira sijéumpèt, teubôh sië sabôh beulangông.
151. Salah aweuk taplah béulangông, salah inông aneuk tatampa.
152. Seupôt buléun lheè ploh.
153. Sia payah lôn liméuh léuhôb, bace ulôn drôp kuah gob rasa.
154. Sigitu irang, ubeè blang irôt.
155. Silab mata, putôh takuë.
156. Sôm kaya, peuléumah gasiën.
157. Sulèt mupalèt, tupat seulamat.
158. Su ubeè reudôk.
159. Tabri pih kutuëng, tatuëng pih kubri; Ta peugah kri bek ta iëm drôë.
160. Ta yuë jak di keë, djitôh géuntôt; ta yuë jak dilikôt djitrôm tumèt.
161. Ta jak jareung géubri tika duëk, ta jak kayèm geu jôk situëk.
162. Ta blôë han èk, ta bayéu èk.
163. Tahuë leumô deungôn talôë, tahuë manusia deungôn akai.
164. Ta keumeung pô hana sayéup.
165. Ta kira kéu ië mata gôb si titèk, rhô ië mata drôëteuh meubram-bram.
166. Ta méuèn ngôn apui tutông, Ta méuèn ngôn ië basah, Ta méuèn ngôn sikin téusië.
167. Ta méungôn ngôn aneuk miët, Ta manôë djipecéukô ië, ta pajôh bu djiséungéu eungkôt.
168. Ta méurakan deungôn ureung malèm, treb-treb jeut kéu teungku.
169. Tangah atéuh sabeè.
170. Ta côk han trôh, ta cunthôk rhô kuah.
171. Tikôh sabôh ureung pôh sireutôh.
172. Campli han leè keu’éung, sira han leè masèn.
173. Udèb péuléumah tempat, mateè péuléumah jirat.
174. Utang ka na èt kéiëng.
175. Ta seut ië laôt deungôn paléut jarôë.
176. Khèm gôb khèm géutanyôë, ata jipeukhèm cit géutanyôë.

Silahkan meninggalkan jejak di kotak komentar :)




Posted By UnknownJumat, Juni 01, 2012

Design Blazer untuk Jurusan Sosiologi 2009 FISIP UNSYIAH

Filled under:

Bismillahirrahmanirrahim...

kawan kawan segenap Mahasiswa 09 sosiologi Unsyiah,,

sehubungan dengan tindak lanjut hasil rapat tentang penggunaan atribut almamater 2009
saya lampirkan design gambar Blazernya dulu..

untuk soal pembayaran dan uang-piutang, hubungi Bankir kelas kita
( Ny. Widia ),
dan untuk segala urusan menyangkut paut hal hal di luar keuangan, bisa menghubungi saudari  Ijah

sementara ini, kita sedang menunggu update berita soal jenis bahan dari pak  Sulistiono


Blazer untuk Pria (Male)



 Blazer untuk Wanita (Female)


Logo yang di gunakan


Redaksi







silahkan meniggalkan jejak di kotak komentar :)


Posted By UnknownJumat, Juni 01, 2012