Jumat, 17 Desember 2010

(7) Logika : Kata dan istilah, kalimat dann pernyataan

Filled under:

Kata dalam bahasa Indonesia memang bisa dipahami sebagai sesuatu yang menjadi unsur pembentuk bahasa. Misalnya, ada kata: "miskin". Kata ini akan berarti, hanya jika kata ini digabungkan dengan kata lain atau dengan tanda bahasa yang mendukung.

Misalnya, "Oohh ... , miskin ya?" atau, "Miskin ...?"

Pada kalimat pertama, kata miskin bisa berarti dua hal. Hal ini menunjukkan ungkapan ketidaktahuan seseorang tentang keadaan sebelumnya yang bersangkutan dengan pengertian "miskin" itu sendiri. Kedua, ungkapan yang bernada merendahkan dapat menjadi ungkapan seseorang yang berhadapan dengan keadaan seseorang yang memang "miskin".

Untuk kalimat kedua, kita akan mengerti kalau kata "miskin" di situ akan berarti pertanyaan. Juga bisa berarti ungkapan ketidakpercayaan.

Demikianlah, cara kita memahami "miskin" sebagai sebuah kata.

Walaupun begitu, "miskin" juga bisa berarti istilah. Artinya, "miskin" diberikan pengertian yang bersifat khusus dan akan dipahami secara berbeda dalam bidang tertentu. (Bandingkan uraian ini dengan apa yang sudah diperjelas oleh Pusat Bahasa)

Misalnya, dalam agama Islam, ada ungkapan:
"Kemiskinan itu akan mendekatkan seseorang pada penolakan beragama".
Pun dalam agama Kristiani, khususnya kaum Protestan, memiliki keyakinan:
"Kemiskinan itu harus ditolak, karena kalau kita kaya di dunia ini, maka kita akan kaya pula di Surga".
Tapi tidak begitu dalam agama Budhis. Ini tersirat dalam keyakinan:
"Dengan menjadi pengemis, maka seseorang akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya".
(untuk uraian dalam agama ini, mohon maaf kalau misalnya ada kekeliruan. ralat akan dilakukan apabila ada yang keberatan. ^_^ )

Masuk pada bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya, "miskin" memiliki satu pengertian yang kompleks atau amat luas. Istilah ini dapat diartikan macam-macam, sesuai dengan "maksud", "tujuan", atau "kepentingan" yang ada dalam penggunaan "miskin" itu.
Misalnya, ketika ditetapkan Millenium Development Goals oleh masyarakat dunia, khususnya oleh PBB, "kemiskinan itu harus dapat diatasi pada tahun 2015" adalah slogan yang membawa dampak politis yang luar biasa. Masing-masing negara, tentunya akan membuat kebijakan ekonomi yang mengarah pada tujuan tersebut. Begitu juga para politisi akan memakai ini sebagai bagian dari kampanye.
Selain itu, hal ini juga beraspek budaya, karena "miskin" lalu dikaitkan dengan sikap hidup manusianya. Pun berhubungan dengan sosial, karena "miskin" tidak mungkin berada di luar konteks bermasyarakat.

Nah, dengan penjelasan yang serba sedikit, kita mungkin dapat membayangkan seperti apa bedanya kata dan istilah. Hal ini sebenarnya terletak pada bagaimana kita mengartikannya, atau bagaimana kita mendefinisikannya. Semakin teknis suatu kata didefinisikan, maka kata itu secara langsung akan menjadi istilah.

Lalu, terkait dengan apa yang disebut dengan kalimat dan pernyataan, kita dapat membedakannya secara mudah sebenarnya. Misalnya dalam contoh di bawah ini.

1. "Adik makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah."
2. "Adik itu makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah."

Contoh 1 ini merupakan kalimat lengkap, karena ada S+P+O+K ("Adik" = Subjek + "makan" = Predikat + "nasi goreng" = Objek + "sebelum berangkat sekolah" = Keterangan).
Contoh 2 ini merupakan pernyataan, serta terdiri dari S+K+P ("Adik" = Subjek + "itu" = Kopula + "makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah" = Predikat)

Dengan memperhatikan contoh tersebut, kita dapat mengenali bahwa kalimat dan pernyataan hanya berbeda tipis saja, yaitu dibedakan dengan kata "itu". Dalam bahasa Inggris, kata "itu" yang dimaksud sebenarnya adalah kata "is", yang artinya "adalah" itu sendiri. Secara lebih jauh, ciri yang membuat pernyataan itu dibedakan dari kalimat adalah sisi pengujiannya. Kalimat (1) di atas, tidaklah perlu diuji isinya benar ataupun tidak karena sudah memenuhi syarat kalimat lengkap. Sedangkan dalam pernyataan (2), hal ini perlu dibuktikan kembali apakah isinya benar atau salah, khususnya untuk fakta yang ada pada Predikat dari pernyataannya tersebut. (lihat kembali pembahasan saya untuk masalah formal dan material dalam logika dalam artikel

Jadi, kalau kita boleh mengambil kesimpulan secara singkat, kalimat yang benar hanya membutuhkan sisi pengujian atas susunannya, sedangkan pernyataan yang benar hanya akan benar bila teruji sisi susunannya (formal) maupun sisi isi yang terkandung di dalamnya (material).

...

Posted By UnknownJumat, Desember 17, 2010

(6) Logika : Model Dialektika Hegellian

Filled under:

Bahasan kita kali ini adalah satu model dialektika yang diperkenalkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831). Beliau ini adalah salah satu filsuf Jerman yang paling masyhur dan menjadi banyak rujukan dari pemikiran Idealisme pada masa sekarang ini. Idealisme yang dimaksud adalah salah satu jenis pemikiran yang mengutamakan ide atau gagasan sebagai sumber kebenaran. Biasanya, Idealisme dilawankan dengan Empirisisme atau jenis pemikiran yang mengutamakan pengalaman atas kenyataan sebagai sumber kebenarannya.

Nah, kembali pada model dialektika Hegel, model dialektikanya merupakan salah satu yang tersulit dipahami dalam sejarah filsafat modern. Ini dikarenakan Hegel berbicara dalam tingkatan yang sangat teoretis dan tidak membicarakan hal-hal yang bersifat praktis. Apalagi, filsafat Hegel memiliki dasar pemikiran pada sesuatu yang sangat abstrak, yaitu filsafat "roh". Walaupun demikian, kita tidak perlu panjang lebar membicarakan dasar filsafatnya ini. Sebab, ini belum waktunya kita masuk dalam pembahasan filsafat yang rumit tersebut.

Model dialektika Hegel ini adalah yang lazim dikenal sebagai:

tesis - antitesis - sintesis

Tesis secara sederhana dipahami sebagai "suatu pernyataan atau pendapat yang diungkapkan untuk sesuatu keadaan tertentu".
Misalnya: "Tanah ini basah karena hujan".
Antitesis adalah "pernyataan lain yang menyanggah pernyataan atau pendapat tersebut".
Misalnya: "Hari ini tidak hujan".
Sintesis adalah "rangkuman yang menggabungkan dua pernyataan berlawanan tersebut sehingga muncul rumusan pernyataan atau pendapat yang baru".
Misalnya: "Oleh karena hari ini tidak hujan, tanah ini tidak basah karena hujan."

Model dialektika di atas ini mungkin penyederhanaan atas apa yang dibicarakan Hegel. Tapi, kira-kira seperti inilah pola dialektika secara umum. (Mudah-mudahan apa yang saya bicarakan dengan contoh di atas tidak terlalu jauh dari apa yang memang dimaksudkan sebagai model dialektika Hegel. Kalau salah, tolong dibenerin ya? :-) )

Model dialektika ini sebenarnya sudah banyak kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pikiran yang satu disanggah dengan pikiran yang laennya. Namun, rumusan ilmiah atas itu memang baru dibuat secara "hebat" dan mulai terkenal dalam pemikiran filsafat semenjak diperkenalkan Hegel untuk menopang pandangan filsafatnya.

Akan tetapi, membaca pikiran Hegel itu tidak mudah. Sebab, membaca Hegel, sama dengan membaca pikiran tiga orang filsuf sebelumnya, yaitu: Immanuel Kant (1724 - 1804), Johan Gottlieb Fichte (1762 - 1814), Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775 - 1854). Pada dua orang terakhir ini, Hegel mengambil saripati pikiran yang dikembangkan sebagai model dialektika. Sebagai gambaran sederhana, saya akan ringkaskan sedikit pandangan bagaimana Hegel itu sendiri "berdialektika" dengan Ficthe dan Schelling di bawah ini.

Pendapat Fichte yang terutama terletak pada pemahaman atas diri yang disebut "Aku" atau "Ego". Menurutnya, Aku ini merupakan unsur terpenting dalam diri manusia. Itu karena Aku adalah pribadi yang dapat melakukan permenungan. Ini seibarat pendapat Rene Descartes (1596 - 1650) yang mengatakan bahwa: Aku berpikir, maka Aku ada (bahasa keren latinnya, yaitu: Cogito ergo sum). Namun, dalam pikiran Fichte, Aku ini tidaklah sendiri. Aku ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku. Dalam konteks ini, sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Sehingga, dengan pergumulan Aku yang lain ini-lah, Aku menjadi sadar kalau dirinya terbatas. Begitupun sebaliknya dengan Aku yang lainnya itu. Bahasa sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun orang lain menjadi tidak bebas.

Dalam model dialektika, pola pikir Fichte terumus demikian: Aku ini sadar (tesis) - Ada Aku lain (antitesis) - Aku dan Aku lain saling membatasi (sintesis).

Sedangkan pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat subjektif (berciri "roh") ataupun objektif (berciri "materi"). Aku mengatasi keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan ciri yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena keduanya dapat dipandang sebagai Aku.

Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian: Aku yang lain atau alam (tesis) - Aku individu atau manusia (antitesis) - Aku yang bukan materi dan roh (sintesis).

Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu merumuskan sesuatu yang "sederhana" dibandingkan dua pendapat filsuf itu. Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan pemahamannya atas masalah ini menjadi:

Idea (tesis) - Alam (antitesis) - Roh (sintesis)

Inilah apa yang dimaksudkan sebagai Aku absolut menurut pandangan Hegel. Bingung kan? Silahkan baca selengkapnya dalam tulisan Hegel maupun tulisan tentang Hegel.  peace rakan,,^_^



Referensi:
F. Budi Hardiman, 2007, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, cet. II, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Posted By UnknownJumat, Desember 17, 2010

(5) Logika : Sokrates dan Dialektika

Filled under:

Kali ini kita akan membahas model Dialektika yang diungkapkan masih oleh salah satu filsuf terkenal dari masa Yunani Kuno, yaitu Sokrates dari Athena. Sokrates terkenal memang bukan karena metode Dialektika. Ia menjadi sangat terkenal karena ia memilih minum racun untuk mempertahankan prinsipnya dalam pengadilan kota Athena. Namun, sebenarnya, peristiwa ini terjadi justru sebagai akibat langsung dari metode Dialektika yang ia pakai. Kenapa demikian?

Metode Dialektika Sokrates agak sedikit berbeda dengan pola yang dipakai oleh Zeno. Ini karena Sokrates memang memaksudkan Dialektika justru pada asal katanya, yaitu bercakap-cakap atau berdialog. Ya, Sokrates memang adalah orang yang senang bercakap dengan orang lain yang bertemu dengannya di sepanjang jalan kota Athena. Ia selalu mengajak mereka diskusi untuk sesuatu yang ia anggap penting.

Tapi, tentu saja percakapan model diskusi yang dilakukan oleh Sokrates memang tidak selamanya disambut hangat. Apalagi bila dipandang dari kacamata kaum Sofis. Mereka ini adalah rival Sokrates. Ini karena kaum Sofis adalah sekelompok orang yang justru mengambil keuntungan dari masyarakat melalui kecakapannya berorasi atau berpidato. Nah, seringkali kaum Sofis ini dibuat jengkel oleh Sokrates karena mereka merasa dipermalukan di depan banyak orang dengan metode Dialektika. Lalu, seperti apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Sokrates dengan Dialektika ini?

Berikut adalah ilustrasi yang dibuat untuk memberikan gambaran seperti apa kiranya metode Dialektika yang dipergunakan oleh Sokrates.

Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan. Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah dekat pasar sambil sekaligus berteduh.
"Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?"
"Aku sedang menjajagi untuk membuka kios usaha di Megara, Sokrates. Makanya aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka mengelola kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari sini."
"Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?"
"Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku. Ingin seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat senang dengan semua kemewahan yang ia punya."
"Hidup sangat senang? Bisa kau berikan keterangan yang lebih jelas lagi wahai Meno?"
"Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik datang ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya. Rumah itu amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu pualam. Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta dan 10 ekor kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup."
"Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?"
"Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar dan mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi lebih hebat dari Kranos tentunya."
Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di depan mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia permen gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan menggenggam permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu.
"Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?"
"Ya Sokrates. Memangnya ada apa?"
"Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?"
"Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi permen gula tentu akan merasa sangat senang."
"Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?"
"Maksudmu apa Sokrates?"
"Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu identik dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan membuat kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?"
Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai kehilangan kata-kata.
"Iya, mungkin, Sokrates."
"Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat Meno. Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat senang."
Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
"Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatannya Kranos, wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat bukan semata-mata karena melihat orang lain."
Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya. Meno mencari temannya terlebih dahulu
dan mereka bertiga menuju rumah Sokrates.

Nah, dalam dialog Sokrates dengan Meno di atas, kita dapat melihat bahwa Sokrates menggunakan Dialektika sebagai satu cara untuk menyadarkan orang lain itu akan pengertian yang sesungguhnya tentang makna suatu kata. Dengan contoh-contoh sederhana, Sokrates mampu mengurai retorika menjadi suatu pembicaraan tanpa isi. Melalui cara inilah ia dikenal sebagai pembicara ulung dan menjadi sangat disegani di seantero Athena. Tetapi, ia pun sekaligus menjadi orang yang paling menjengkelkan dan paling dimusuhi oleh orang-orang yang tidak menyukainya.

Cara seperti ini yang diberi nama oleh Sokrates sebagai maieutike tekhne (seni kebidanan). Ini karena Sokrates selalu mengganggap dirinya seibarat "bidan" yang membantu melahirkan pengertian yang benar dalam pikiran orang lain. Dalam hal ini, ia sangat terinspirasi oleh ibunda yang memang adalah seorang bidan.

Jadi, apakah kini anda sudah memahami metode Dialektika Sokrates?

Posted By UnknownJumat, Desember 17, 2010

(4) Logika : Dialektika Zeno dari Elea

Filled under:

Bila dilihat dari sejarahnya, Dialektika ini sebenarnya berasal dari kata dialegestai (Yunani) yang berarti "percakapan". Para filsuf sebelum Sokrates dari Athena (± 469 – 399 SM), seperti Zeno dari Elea (± 490 – 430 SM), sudah menggunakan istilah ini sebagai suatu nama untuk metode berpikir. Ini dipakai, terutama, ketika Zeno berusaha untuk mempertahankan pandangan sang guru, Parmenides dari Elea (± 515 – 440 SM) yang menyatakan bahwa "alam semesta itu satu adanya dan tidak ada perubahan di dalamnya". Pandangan yang demikian ini dikenal sebagai suatu jenis pandangan yang monistik tentang semesta.

Sehubungan dengan pikiran Zeno, ada beberapa uraian menarik yang diberikan olehnya ketika ia sedang berdialektika. Misalnya, saat ia mengajukan masalah pelik yang membingungkan banyak orang. Berikut adalah salah satu contoh masalah yang dikemukakannya.

Achilles tidak dapat memenangi lomba lari melawan kura-kura
Membaca masalah di atas, mungkin kita akan sedikit tersipu, heran, atau malah bingung. Kok bisa ya filsuf mengemukakan masalah yang ganjil serupa ini? Apa memang kurang kerjaan atau gimana ya? ( meuah beuh...hehehe... )

Ya, saat Achilles dinyatakan tidak bisa menang melawan kura-kura dalam lomba lari, mungkin ini seperti bualan. Tetapi, kalau boleh saya bilang, ini bualan yang paling argumentatif. (^_^) Sebagai orang Yunani masa itu, Zeno tahu kalau Achilles adalah seorang pelari yang handal. Bahkan, dalam mitologi Yunani, Achilles adalah seorang pahlawan pada Perang Troya. Jadi, kalau Achilles harus bertarung lari dengan seekor kura-kura yang sangat lambat, maka "sungguh mustahil sekali" kalau kura-kura bisa menang.

Akan tetapi, di balik masalah yang Zeno kemukakan, sebenarnya ada suatu persoalan pelik yang hanya bisa dipahami menggunakan pendekatan fisika maupun matematika untuk mengatakan pandangan Zeno itu benar. Walalupun demikian, ada syarat tertentu yang diandaikan oleh pernyataan ini. Syarat ini tiada lain adalah kura-kura harus memulai lari lebih dahulu daripada Achilles. Kenapa harus seperti itu? (Aneh, walaupun mulai duluan, kan gak bakalan menang juga. ;-) )

Syarat di atas dibutuhkan dalam memahami pernyataan Zeno dari sisi fisika maupun matematika. Dari segi fisika, pernyataan Zeno mendapatkan pembenaran kalau hal ini dikaitkan dengan analisis mengenai waktu. Misalnya Achilles (A) dan kura-kura (K) memulai lomba pada waktu 00.00. Saat lomba dilaksanakan, K memulainya terlebih dahulu pada 00.01 dan A membiarkannya sampai K itu melaju cukup jauh. Dengan kecepatan lari yang dimilikinya, A berlari mengejar K hingga melampauinya dan menunggu K menghampirinya kembali.

Menilik cerita lomba di atas, tentunya A lebih unggul secara kemampuan dan dapat dipastikan siapa pemenangnya. Namun, dalam kaitannya dengan waktu, justru K yang lebih dahulu memimpin. Ini karena K memulai lomba pada 00.01. Saat kita memahami ini semua dalam kerangka waktu, maka A-lah yang akan mengalami kekalahan. Ini karena waktu A memulai lomba misalnya pada 30.00, setelah menunggu K berjalan cukup jauh. Dalam teori mengenai waktu, tidak ada sesuatu apapun yang dapat melampaui atau mendahului waktu. Tidak juga kecepatan cahaya.

Nah, memahami pernyataan Zeno dalam kaitannya dengan kerangka waktu justru akan dapat membuat kita sadar bahwa pendapat Zeno ini ternyata ada benarnya.

Cara lain untuk memahami pernyataan Zeno adalah memahaminya dari sisi matematika (walaupun ada fisikanya juga sih). Berikut ini adalah uraiannya.

Saat A dan K berlomba, dengan K yang memulainya terlebih dahulu, K ini sebenarnya sedang mengambil suatu posisi terhadap A. Maksudnya membuat suatu posisi di sini adalah K membuat jarak dengan A dan membuat suatu titik acuan relatif terhadap A. Ketika K bergerak, maka posisi itu pun sudah pasti akan berubah. Nah, saat A bergerak mendekati posisi K atau malah melampauinya, sudah pasti jarak antara A dengan K akan berkurang, sama, atau malah menjauh. Pada saat ini terjadi, posisi A bisa berada di belakang, sama, atau malah di depan K.

Kalau kita menggunakan pola pikir yang biasa dipakai sebagai dasar analisis, artinya hanya mempertimbangkan jarak sebagai ukuran pokok dalam memahami persoalan di atas, maka kita akan keliru memahami pernyataan Zeno. Sebab, menurut saya, Zeno tidak sedang mempertimbangkan jarak sebagai ukuran pokok. Yang ia pikirkan, mungkin, adalah posisi K yang tidak pernah bisa dijangkau oleh A. Artinya, saat K mencapai posisi tertentu, ini tidak akan dapat dijangkau oleh A karena posisi K selalu berubah secara relatif terhadap A. Tentu saja posisi yang relatif ini masih berlaku saat jarak antara A dan K adalah 0 alias A = K atau jarak antara A dan K adalah A > K. Dengan ini, kita tidak dapat mengatakan A itu menang atas K berdasarkan posisinya.

bingung ? (^_^)

...

Posted By UnknownJumat, Desember 17, 2010

(3) Logika : Deduksi, Induksi, dan Abduksi

Filled under:

Di dalam tulisan Logika (2), kita sudah sedikit banyak mengenal istilah logika maupun materi-materinya. Ada yang disebut Logika Formal dan Logika Material, juga ada yang disebut Deduktif dan Induktif. Tetapi, apa yang bisa dimanfaatkan dari materi itu kalau kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari?

Kalau dilihat secara sepintas, kita mungkin tidak akan banyak dapat menggunakan analisis seperti yang telah dilakukan pada posting sebelumnya. Tapi, sebenarnya kita justru seringkali menggunakan pola pikir tersebut. Cuma kadangkala, kita tidak menerapkannya dengan baik. Ada beberapa persoalan tentang hal ini yang menjadi sebab kenapa kita tidak dapat menggunakan logika secara praktis dan nyata.

Pertama, kita selalu menganggap apa yang kita pikir itu benar.
Kedua, kita selalu menganggap apa yang dipikir orang lain salah bila bertolak belakang dengan pola pikir kita.

Ini awal dari banyak kesalahan berpikir logika. Bahkan filsuf sekaliber Bertrand Arthur William Russell (1872-1970) pun pernah mengalami kesalahan ini. Oleh karena itu, hindarilah dua dasar pikiran yang telah dikutipkan di atas. Sebab, apapun yang kita pikirkan, ucapkan, maupun yang dinyatakan secara kukuh tetap memiliki kesalahan logis yang bersifat internal (terkandung di dalamnya) atau internal logical fallacy. (Apa tulisan ini juga begitu? Hehe... silahkan menilai sendiri

Walaupun demikian, terlepas dari kasus kesalahan logis yang internal, dua dasar pikiran di atas itu sendiri sebenarnya dapat kita sebut sebagai satu jenis pola pikir baru yang berhasil dikenali dalam kajian logika. Adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang pertama kali mengenalkan cara menganalisis jenis pola pikir tersebut. Pola pikir ini bersifat "menduga" (speculation) dan diberi nama dengan Abduktif.

Bagaimana kira-kira pola pikir ini dianalisis?

Ternyata, apa yang disebut Abduktif tidak jauh berbeda dengan dua pola pikir yang telah disebutkan. Kalau kita bandingkan secara langsung antara Deduktif, Induktif, dan Abduktif, maka kita cuma melihat perbedaan yang tipis saja dan hanya bertukar posisi untuk pernyataan-pernyataannya. Berikut adalah contoh perbandingannya.

Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
-----------------------------------------------------------------
(1.3) Buncis ini (adalah) putih

Induksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih

Abduksi
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu

catatan:
*) kata (adalah) ini digunakan untuk menerjemahkan kata 'is'.
**) Selengkapnya, lihat dalam Umberto Eco, 1979, A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington, hal. 131-3.

Bila Anda perhatikan dengan baik, ternyata pola Deduksi, Induksi, maupun Abduksi menggunakan tiga pernyataan yang sama. Ini menunjukkan bahwa antara tiga pola pikir ini terdapat hubungan yang saling melengkapi.

Posted By UnknownJumat, Desember 17, 2010

(2) Logika : Formal, Material, deduksi

Filled under:

Logika, seperti telah kita bahas dalam uraian sebelumnya, memiliki materi yang sederhana tapi juga mendasar. Walaupun telaah lanjutannya dapat menghasilkan suatu pengkajian yang super sulit bin sukar, tapi kita sebenarnya tidak membutuhkan model kajian yang serupa itu. Kalau dapat dibuat mudah, kenapa tidak? Ini yang akan kita pelajari dalam pembahasan kali ini. Supaya hal ini terlaksana, kita akan bahas kasus yang dialami oleh kita dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya kita punya kasus seperti ini:

Aslam adalah seorang petani. Ia bekerja membanting tulang setiap hari. Selepas Subuh, ia langsung berangkat ke sawah untuk memulai pekerjaan sebagai seorang penggarap. Dari mulai mencangkul lahan, membenihkan padi, menanam bibit, memupuknya, menyiangi rumput yang ikut tumbuh, membenarkan galangan sawah yang bolong-bolong oleh ketam atau rusak diterjang anak-anak, mengatur air agar selalu menggenang, mengusir burung yang hinggap saat padi hendak matang, hingga memanen padi, menimbang, lalu menjualnya ke pasar. Semua pekerjaan ia lakukan sendiri.

Suatu saat, ia mengeluh karena merasa capai dengan semua pekerjaannya itu. Ia mengeluh pada istrinya. Kata Aslam, "Bu, coba aku sekolahnya bisa sampai tamat SD. Atau, kayak Samir itu lho! Sarjana, punya titel, kerja kantoran, gak kepanasan, juga dapat gaji tiap bulan. Gak kayak aku ini. Sehari-hari ya cuma dapat pas-pasan. Kadang cukup, kadang nggak." Istrinya menjawab: "Ya sudah. Bapak terima nasib aja. Yang penting, anak-anak kita ga kayak bapaknya."

Sekarang, coba analisis kasus di atas dengan menggunakan logika. Jawaban seperti apa yang bisa dihasilkan oleh Logika atas kasus di atas? Mau tahu jawabannya?

Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan oleh Logika Formal untuk kasus di atas adalah bahwa dalam kasus ini Aslam menggunakan pola pikir Induktif. Kenapa demikian? Ini karena Aslam menyimpulkan sesuatunya berdasarkan pada banyak pekerjaan yang ia lakukan. Akan tetapi, kalau menggunakan format Logika Material, kasus di atas menyimpan masalah tentang fakta yang tak diungkapkan. Misalnya, apakah ketika panen padi Aslam tidak dibantu oleh satu orang pun? Berapakah luas sawah yang digarap oleh Aslam sehingga ia dapat melaksanakan semua pekerjaannya itu sendirian?

Nah, dengan jawaban ini kita sudah masuk dalam pembahasan istilah baru dari kajian Logika. Mungkin Anda sudah menangkap maksudnya. Tetapi, kalau belum jelas, saya akan paparkan satu-satu.

Logika Formal dan Logika Material adalah salah satu model dari pembagian Logika. Formal di sini dimaksud sebagai suatu pengertian yang mengacu pada bentuk baku yang telah ditetapkan untuk suatu hal berdasarkan kaidah-kaidah logika. Sedangkan Material, ini dimengerti sebagai isi dari suatu hal yang dapat dibuktikan atau dapat diverifikasi (diuji) kesahihannya berdasarkan pada kenyataannya di dunia. Bingung?

Contoh di bawah ini akan lebih menjelaskan.

(Contoh 1)

Misal, kita punya dua pernyataan:
(1) Semua manusia itu akan mati
(2) Aslam itu manusia

Kesimpulannya akan menjadi:
(3) Aslam itu akan mati

Contoh di atas ini merupakan suatu pola pikir Deduktif yang lolos dari ujian Logika Formal maupun Material. Kenapa? Ini karena tiga pernyataan di atas sudah memenuhi syarat baku dalam kaidah Formal, maupun benar secara isi seperti yang dikehendaki dalam syarat Material. Berikut kaidah Formal dalam logika yang dimaksud.

(1.1) A is B
(2.1) C is A
------------
(3.1) C is B

Keterangan:
Pernyataan 1.1 disebut dengan Premis Mayor (Pernyataan Umum).
Pernyataan 2.1 disebut dengan Premis Minor (Pernyataan Khusus).
Pernyataan 3.1 disebut dengan Konklusi (Kesimpulan).
Kata "is" ini disebut dengan Kopula (atau mirip dengan lambang "=" dalam Matematika).
Kata "itu", "ini", atau "adalah" biasa digunakan sebagai Kopula untuk pernyataan logis dalam bahasa Indonesia.

Terus bagaimana dengan syarat Materialnya? Bagaimana penjelasannya?

Kita berikan satu contoh lagi di bawah ini agar dapat Anda bandingkan.

(Contoh 2)
(1.2) Semua manusia itu berumur panjang
(2.2) Aslam itu manusia
--------------------------------------------
(3.2) Aslam itu berumur panjang

Pada contoh terakhir, walaupun sudah memenuhi syarat sesuai dengan kaidah Formal di atas, kita bisa mengetahui bahwa kesimpulannya keliru. Contoh 2 ini menyimpulkan bahwa Aslam itu akan memiliki umur yang panjang. Padahal, mungkin saja kalau Aslam ini berumur pendek. Jadi, untuk contoh 2, kita dapat mengatakan bahwa contoh ini valid/sahih secara formal tetapi keliru secara material.

Terakhir, mungkin Anda masih penasaran dengan dua istilah ini, yaitu: Induktif dan Deduktif. Untuk istilah Deduktif, saya sudah berikan contohnya dalam contoh 1. Begitulah yang disebut pola pikir Deduktif. Sedangkan untuk Induktif, inilah contohnya:

(Contoh 3)
(1.3) Aslam itu akan mati
(2.3) Aslam itu manusia
------------------------------------
(3.3) Semua manusia itu akan mati

Jadi, Anda bisa bandingkan contoh 1 dan contoh 3 ini. Semua pernyataannya sama persis. Hanya saja, dalam contoh 1, pernyataan 3.3 ada dan berlaku sebagai Premis Mayor. Sedangkan pada contoh di sini, pernyataan tersebut malah menjadi Konklusi.

Sekarang, mudah-mudahan Anda dapat mempelajarinya dengan baik dan memahami serba sedikit dari pembahasan Logika beserta model penerapannya dalam menganalisis kehidupan sehari-hari. Oya, sebagai tambahan informasi, kaidah Formal yang dimaksud di atas dalam kajian Logika dinamakan dengan Silogisme. Penemunya adalah filsuf masyhur yang pernah menjadi guru Alexander Agung (356-323 SM). Beliau tidak lain daripada Aristoteles (384-322 SM) atau sang Father of Logics.

Posted By UnknownJumat, Desember 17, 2010

(1) Logika : Pengantar Filsafat

Filled under:

Sebagai salah satu pilar pemahaman kajian filsafat, Logika menjadi cabang yang sebaiknya Anda pelajari pertama kali. Walaupun begitu, orang yang mempelajari Logika seringkali mengalami hambatan. Ini terutama dikarenakan mereka sudah punya pikiran yang kurang baik mengenai Logika. Ada yang mengatakan sukar, hanya main-main saja, ataupun tidak diperlukan karena merasa "saya sudah pandai". 

Padahal, kalau dikatakan sulit, Logika itu kan dipikirkan dan dibuat oleh manusia. Kita yang sesama manusia ini harusnya bisa juga dong belajar Logika. Main-main? Iya juga sih. Sebab, tanpa permainan yang baik dan juga Logika yang cukup, seorang Lewis Carroll (1832-1898) tidak akan dapat membuat cerita Alice in Wonderland (Alice di Negeri yang Indah). Begitupun dengan ungkapan "tidak perlu", ini harus dihilangkan baik-baik dari pikiran Anda. Sebab, kalau Anda memang benar-benar pandai, Anda tidak akan kuliah sampai S3 dong. (Hehe...)

Bukan apa-apa, mempelajari Logika sebenarnya akan memberikan manfaat yang besar kalau kita bisa memahaminya dengan baik. Salah satunya akan membuat kita tidak salah paham dalam menilai pendapat seseorang hingga harus terjadi pertengkaran. Perang sekalipun akan dapat kita hindari kalau kita mampu berpikir logis. Kecuali kita bersikap egois dan hanya berpikir "mau menang sendiri".

Setelah membaca penjelasan di atas, mungkin ada pertanyaan seperti ini: Apa sih yang dikaji dalam Logika sampai kita harus mempelajarinya?

Ini adalah pertanyaan yang bagus dan cukup tepat untuk kita bahas. Pada cabang Logika, kita akan mempelajari tiga materi yang pokok, yaitu: (1) sejarah dan perkembangan pemikiran logika beserta aliran-alirannya, (2) persoalan istilah beserta pengolahannya, dan (3) persoalan pernyataan beserta pengolahannya. Selebihnya, materi-materi yang khusus dapat ditambahkan. Namun, hal ini tidak akan keluar dari tiga materi pokok yang telah disebutkan.

Sampai di sini, mungkin lagi-lagi ada orang yang mencibir. Mungkin begini komentarnya: "Materi yang begitu kok dibela-belain harus dipelajari. Itu kan pelajaran bahasa Indonesia. Dari SD pun dah saya pelajari. Kenapa harus dipelajari lagi? Buang-buang waktu aja. Kirain mempelajari apa."

Komentar ini tidak salah. Sebagian besar yang dipelajari Logika memang sudah diajarkan dalam pelajaran bahasa. Tetapi, pelajaran bahasa tidak mengajarkan pada kita untuk menelaah masalah-masalah istilah ataupun pernyataan dengan pengertian filosofis. Artinya, sesuatu istilah dapat saja memiliki beragam arti sesuai dengan pandangan orang yang mendefinisikannya. Untuk lebih jelasnya, kita akan coba bahas istilah "ya" dalam bahasa Indonesia dari sudut pandang bahasa maupun logika.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984) yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, istilah "ya" dapat berarti:

(1) kata untuk menyatakan setuju; contoh: Ya, baiklah.
(2) wahai; contoh: Ya tuanku!
(3) ... bukan; contoh: Ia orang kaya, ya?
(4) gerangan; contoh: Siapa ya yang tadi memanggil namaku?
(5) penguat; contoh: Besok jangan lupa datang ya!

Berdasarkan kelima contoh ini, sebenarnya sudah disebutkan beberapa alternatif yang cukup luas untuk pengertian istilah "ya". Walaupun demikian, saya dapat saja menambahkan konteks baru dalam pengertian istilah "ya". Misalnya, dalam kalimat:

(6) "Ya, kalau dia setuju. Kalau tidak, bagaimana?"

Di dalam kalimat ini, istilah "ya" mengandung pengertian 'persetujuan yang bersyarat'. Artinya, istilah "ya" pada kalimat (6) berbeda pengertiannya dengan kalimat (1) yang saya kutipkan di atas karena persetujuannya tidak langsung terpenuhi dengan hanya mengatakan "ya". 

Memahami uraian yang menggunakan contoh-contoh di atas, nampak bahwa apa yang diuraikan oleh Poerwadarminta atas pengertian istilah "ya" dari segi bahasa tidak dapat merangkum seluruh pengertian istilah "ya" yang mungkin akan muncul. Termasuk penjelasan yang sebaiknya diberikan untuk pengertian istilah "ya" dalam pengertian nomor (3). Kenapa istilah "ya" dalam bahasa Indonesia juga mengandung istilah negatif ('bukan')? Padahal, dalam bahasa Inggris, kita tidak menemukan istilah "yes" yang mengandung istilah negatif. 

Pertanyaan serupa di atas pun tidak akan muncul kalau kita tidak menggunakan Logika sebagai dasar penalarannya. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa pada uraian-uraian di muka, Logika mengajarkan kita memahami suatu istilah dalam berbagai konteks dan situasi. Ini dimungkinkan kalau kita dibiasakan untuk berpikir dengan beragam pandangan. Sehingga, pikiran kita tidak hanya tertuju pada satu pengertian saja dan akhirnya bisa terjatuh pada pikiran yang sempit. Apa yang ditulis dalam sebuah kamus dalam pelajaran bahasa tidak dapat dijadikan patokan dasar, walaupun dapat dijadikan acuan resmi untuk satu istilah...

...

Posted By UnknownJumat, Desember 17, 2010