Di dalam tulisan Logika (2),  kita sudah sedikit banyak mengenal istilah logika maupun  materi-materinya. Ada yang disebut Logika Formal dan Logika Material,  juga ada yang disebut Deduktif dan Induktif. Tetapi, apa yang bisa  dimanfaatkan dari materi itu kalau kita terapkan dalam kehidupan  sehari-hari?
Kalau dilihat secara sepintas, kita  mungkin tidak akan banyak dapat menggunakan analisis seperti yang telah  dilakukan pada posting sebelumnya. Tapi, sebenarnya kita justru  seringkali menggunakan pola pikir tersebut. Cuma kadangkala, kita tidak  menerapkannya dengan baik. Ada beberapa persoalan tentang hal ini yang  menjadi sebab kenapa kita tidak dapat menggunakan logika secara praktis  dan nyata.
Pertama, kita selalu menganggap apa yang kita pikir itu benar.
Kedua, kita selalu menganggap apa yang dipikir orang lain salah bila bertolak belakang dengan pola pikir kita.
Ini awal dari banyak kesalahan berpikir logika. Bahkan filsuf sekaliber Bertrand Arthur William Russell (1872-1970)  pun pernah mengalami kesalahan ini. Oleh karena itu, hindarilah dua  dasar pikiran yang telah dikutipkan di atas. Sebab, apapun yang kita  pikirkan, ucapkan, maupun yang dinyatakan secara kukuh tetap memiliki  kesalahan logis yang bersifat internal (terkandung di dalamnya) atau internal logical fallacy. (Apa tulisan ini juga begitu? Hehe... silahkan menilai sendiri
Walaupun  demikian, terlepas dari kasus kesalahan logis yang internal, dua dasar  pikiran di atas itu sendiri sebenarnya dapat kita sebut sebagai satu  jenis pola pikir baru yang berhasil dikenali dalam kajian logika. Adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang pertama kali mengenalkan cara menganalisis jenis pola pikir tersebut. Pola pikir ini bersifat "menduga" (speculation) dan diberi nama dengan Abduktif.
Bagaimana kira-kira pola pikir ini dianalisis?
Ternyata,  apa yang disebut Abduktif tidak jauh berbeda dengan dua pola pikir yang  telah disebutkan. Kalau kita bandingkan secara langsung antara  Deduktif, Induktif, dan Abduktif, maka kita cuma melihat perbedaan yang  tipis saja dan hanya bertukar posisi untuk pernyataan-pernyataannya.  Berikut adalah contoh perbandingannya.
Deduksi:
(1.1)  Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2)  Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
-----------------------------------------------------------------
(1.3)  Buncis ini (adalah) putih
Induksi:
(2.1)  Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2)  Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(2.3)  Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
Abduksi
(3.1)  Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2)  Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(3.3)  Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
catatan:
*) kata (adalah) ini digunakan untuk menerjemahkan kata 'is'.
**) Selengkapnya, lihat dalam Umberto Eco, 1979, A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington, hal. 131-3.
Bila  Anda perhatikan dengan baik, ternyata pola Deduksi, Induksi, maupun  Abduksi menggunakan tiga pernyataan yang sama. Ini menunjukkan bahwa  antara tiga pola pikir ini terdapat hubungan yang saling melengkapi.

 
 
 





0 komentar:
Posting Komentar