Sebagai salah satu pilar pemahaman kajian filsafat, Logika menjadi  cabang yang sebaiknya Anda pelajari pertama kali. Walaupun begitu, orang  yang mempelajari Logika seringkali mengalami hambatan. Ini terutama  dikarenakan mereka sudah punya pikiran yang kurang baik mengenai Logika.  Ada yang mengatakan sukar, hanya main-main saja, ataupun tidak  diperlukan karena merasa "saya sudah pandai". 
Padahal, kalau  dikatakan sulit, Logika itu kan dipikirkan dan dibuat oleh manusia. Kita  yang sesama manusia ini harusnya bisa juga dong belajar Logika.  Main-main? Iya juga sih. Sebab, tanpa permainan yang baik dan juga  Logika yang cukup, seorang Lewis Carroll (1832-1898) tidak akan dapat membuat cerita Alice in Wonderland  (Alice di Negeri yang Indah). Begitupun dengan ungkapan "tidak perlu",  ini harus dihilangkan baik-baik dari pikiran Anda. Sebab, kalau Anda  memang benar-benar pandai, Anda tidak akan kuliah sampai S3 dong.  (Hehe...)
Bukan apa-apa, mempelajari Logika sebenarnya akan  memberikan manfaat yang besar kalau kita bisa memahaminya dengan baik.  Salah satunya akan membuat kita tidak salah paham dalam menilai pendapat  seseorang hingga harus terjadi pertengkaran. Perang sekalipun akan  dapat kita hindari kalau kita mampu berpikir logis. Kecuali kita  bersikap egois dan hanya berpikir "mau menang sendiri".
Setelah  membaca penjelasan di atas, mungkin ada pertanyaan seperti ini: Apa sih  yang dikaji dalam Logika sampai kita harus mempelajarinya?
Ini  adalah pertanyaan yang bagus dan cukup tepat untuk kita bahas. Pada  cabang Logika, kita akan mempelajari tiga materi yang pokok, yaitu: (1)  sejarah dan perkembangan pemikiran logika beserta aliran-alirannya, (2)  persoalan istilah beserta pengolahannya, dan (3) persoalan pernyataan  beserta pengolahannya. Selebihnya, materi-materi yang khusus dapat  ditambahkan. Namun, hal ini tidak akan keluar dari tiga materi pokok  yang telah disebutkan.
Sampai di sini, mungkin lagi-lagi ada  orang yang mencibir. Mungkin begini komentarnya: "Materi yang begitu kok  dibela-belain harus dipelajari. Itu kan pelajaran bahasa Indonesia.  Dari SD pun dah saya pelajari. Kenapa harus dipelajari lagi? Buang-buang  waktu aja. Kirain mempelajari apa."
Komentar ini tidak salah.  Sebagian besar yang dipelajari Logika memang sudah diajarkan dalam  pelajaran bahasa. Tetapi, pelajaran bahasa tidak mengajarkan pada kita  untuk menelaah masalah-masalah istilah ataupun pernyataan dengan  pengertian filosofis. Artinya, sesuatu istilah dapat saja memiliki  beragam arti sesuai dengan pandangan orang yang mendefinisikannya. Untuk  lebih jelasnya, kita akan coba bahas istilah "ya" dalam bahasa  Indonesia dari sudut pandang bahasa maupun logika.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984) yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, istilah "ya" dapat berarti:
(1) kata untuk menyatakan setuju; contoh: Ya, baiklah.
(2) wahai; contoh: Ya tuanku!
(3) ... bukan; contoh: Ia orang kaya, ya?
(4) gerangan; contoh: Siapa ya yang tadi memanggil namaku?
(5) penguat; contoh: Besok jangan lupa datang ya!
Berdasarkan  kelima contoh ini, sebenarnya sudah disebutkan beberapa alternatif yang  cukup luas untuk pengertian istilah "ya". Walaupun demikian, saya dapat  saja menambahkan konteks baru dalam pengertian istilah "ya". Misalnya,  dalam kalimat:
(6) "Ya, kalau dia setuju. Kalau tidak, bagaimana?"
Di  dalam kalimat ini, istilah "ya" mengandung pengertian 'persetujuan yang  bersyarat'. Artinya, istilah "ya" pada kalimat (6) berbeda  pengertiannya dengan kalimat (1) yang saya kutipkan di atas karena  persetujuannya tidak langsung terpenuhi dengan hanya mengatakan "ya". 
Memahami  uraian yang menggunakan contoh-contoh di atas, nampak bahwa apa yang  diuraikan oleh Poerwadarminta atas pengertian istilah "ya" dari segi  bahasa tidak dapat merangkum seluruh pengertian istilah "ya" yang  mungkin akan muncul. Termasuk penjelasan yang sebaiknya diberikan untuk  pengertian istilah "ya" dalam pengertian nomor (3). Kenapa istilah "ya"  dalam bahasa Indonesia juga mengandung istilah negatif ('bukan')?  Padahal, dalam bahasa Inggris, kita tidak menemukan istilah "yes" yang  mengandung istilah negatif. 
Pertanyaan serupa di atas pun tidak  akan muncul kalau kita tidak menggunakan Logika sebagai dasar  penalarannya. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa pada  uraian-uraian di muka, Logika mengajarkan kita memahami suatu istilah  dalam berbagai konteks dan situasi. Ini dimungkinkan kalau kita  dibiasakan untuk berpikir dengan beragam pandangan. Sehingga, pikiran  kita tidak hanya tertuju pada satu pengertian saja dan akhirnya bisa  terjatuh pada pikiran yang sempit. Apa yang ditulis dalam sebuah kamus  dalam pelajaran bahasa tidak dapat dijadikan patokan dasar, walaupun  dapat dijadikan acuan resmi untuk satu istilah...
...

 
 
 





0 komentar:
Posting Komentar