Pendahuluan
Dari dulu sampai sekarang Aceh tetap saja menarik untuk menjadi suatu bahasan dan penelitian baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga luar maupun dalam negeri, para sejarawan, akademisi, dan mereka yan menaruh minat dibidang sejarah yang diwujudkan dalam suatu karya ilmiah. Hal ini tidak terlepas dari kekayaan budaya yang dimiliki Aceh, perjuangan dalam mermpertahankan kedaulatan wilayah dengan berdirinya kerajaan-kerajan di Aceh yang kemudian dapat disatukan menjadi sebuah kerajaan besar yang disegani, menguasai wilayah-wilayah yang sangat produktif dan jalur perdagangan di pantai barat dan sebagian pantai timur pulau Sumatera. Kekuatan militer dan hubungan luar negeri serta dinamika - sikap heroisme yang dimiliki orang-orang Aceh yang tetap mengadakan perlawanan terhadap tekanan-tekanan pihak luar.
Dalam konteks budaya dapat kita cermati gerakan-gerakan tarian Aceh. Penari wanita dan pria semua memiliki gerakan-gerakan yang tegas tapi tidak kaku. Gerakan kepala, bahu, ayunan tangan, langkah-langkah-langkah kaki, iringan musik dan lirik terlihat begitu nyata tanpa alunan yang lembut dan mendayu-dayu seperti tarian Jawa atau Bali. Penyertaan Aceh dalam sejarah meskipun telah dimulai pada priode “mesolitikum” namun yang paling menonjol ialah sesudah masuknya Islam di Aceh dan berdirinya Kerajaan Islam yang pertama.
Peradaban dan Kebudayaan
Untuk menempatkan arti yang tepat maksud dari kedua kata tersebut yang kadang-kadang sangat sulit dibedakan, baiklah kita coba memahami keterangan Dr. Badri Yatim, M.A. dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Peradaban Islam”. (Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat dalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi).
Selanjutnya Prof. Ali Hasjmi dalam bukunya “Kebudayaan Aceh dalam Sejarah” memberikan definisi tentang kebudayaan sebagai berikut, “Kebudayaan yang menjelma dari serba kebutuhan manusia ,adalah manifestasi akal budi dan hatinurani manusia, sehingga dengan demikian kebudayaan berarti : a. penjelmaan akal, b. penjelmaan rasa, penjelmaan cita.
Keterangan diatas kiranya sudah cukup untuk menyentuh arah dari tulisan ini yang terfokus pada Kerajaan Samudra Pasai di Aceh. Prof. Dr. Musrifah Susanto dalam bukunya “Sejarah peradaban Islam di Indonesia” dalam kata pendahuluannya langsung saja membahas tentang materinya tanpa harus terikat dengan istilah-istilah tersebut diatas.
Masuknya Islam ke Indonesia
Masuknya Islam ke Indonesia telah membawa perubahan yang sangat besar dalam peradaban dan kebudayaan yang tercatat dalam sejarah. Dibandingkan dengan agama lain, Islam lebih banyak memberikan nilai-nilai tentang kehidupan maka dengan sangat mudah dapat diterima karena tidak ada unsur-unsur paksaan. Islam membangun rasa intelektualitas pemeluknya sesuai dengan wahyu yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammas SAW yaitu “Iqrak, bismi rabbikallazi chalaq”. Ini menjadi suatu kerangka untuk membangun sebuah peradaban berdasarkan keimanan yang kukuh.
Dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang dilangsungkan di Medan pada 17 -20 Maret 1963, telah diambil kesimpulan bahwa Islam masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad ke 1 Hijriyah dan langsung dari Arab. Daerah yang pertama didatangi Islam ialah pesisir Sumatera dan pertama berada di Aceh. Ada pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa Islam telah masuk lebih awal ke Barus, atau ke Aru (Deli) karena di tepi pantai dan merupakan pelabuhan niaga yang disinggahi kapal sauidagar Arab dan Parsi.
Kerajaaaan Samudra Pasai sebagai pusat peradaban
Keberadaan Kerajaan Samudra Pasai (abad 13 M) sebagai kerajaan Islam pertama telah menjadi suatu pusat peradaban di Nusantara dalam langkah-langkah pengembangan agama Islam pada masa pemerintahan Malikus Saleh dan penerusnya yang telah membuahkan hasil gemilang dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di pulau Jawa. Samudra Pasai tidak saja menjadi pusat niaga yang disinggahi oleh para pedagang yang datang dari India, Parsi, Arab dan Cina tetapi juga menjadi peradaban dan pusat pendidikan Islam.
Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke-15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara. Ibnu Batutah seorang pengembara asal Maroko pada tahun 1345 mengunjungi Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina pada masa pemerintahan Sulthan Malik Al-Zahir. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan disana. Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati, semangat keagamaan rajanya yang seperti rakyatnya,mengikuti mazhab Syafi’i . Berdasarkan beritanya pula. Kerajaan Samudra Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul para ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk mendiskusikan berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Sebelumnya tahun 1292 pada masa pemerintahan Sulthan Malikus Saleh telah singgah pula di Samudra Pasai seorang pengembara bangsa Venecia yang banyak menghabiskan waktunya di Mongolia dan Cina. Sementara Cheng Ho penjelajah bangsa Cina yang beragama Islam juga pernah singgah di Kerajaan Samudra Pasai (antara tahun 1413 – 1415 ?) dia menyerahkan sebuat lonceng besar yang kemudian dinamakan ‘Cakra Donya” kepada Sulthan Aceh. Demikian ketenaran Samudra Pasei masa itu yang menarik minat para penjelajah dunia untuk menyinggahinya.
Gambaran mengenai kemajuan Pasai oleh Dr. Badri Yatim, MA disebutkan bahwa dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini tidak mempunyai basis agrararis. Basis perekenomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dalam pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata uang dirham. Dikatakannya bahwa setiap kapal yang membawa barang-barang dari barat dikenakan pajak 6 %. Samudra Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonomi, memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang dirham di Samudra Pasai pernah diteliti oleh H.J. Cowan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama –nama Sulthan yang memerintah kerajaan
Kemasyhuran Samudra Pasai yang mengandalkan perniagaan maritim telah mengundang perhatian pihak lain untuk menguasai Samudra Pasai dan menjadikan daerah taklukan mereka. Dalam masa pemerintahan Sulthan Zainal Zainul Abidin Malikuz Zahir kerajaan Mojopahit menyerang Pasai dibawah pimpinan Patih Nala, dengan bekerja sama dengan kerjaan Siam, dimana dengan tipu daya yang licik utusan Raja Siam menculik Sulthan Zainul Abidin. Karena tidak tahan peperangan yang dilakukan rakyat/tentara, akhirnya bala tentara Majapahit terpaksa meninggalkan Pasai, dengan membawa sejumlah tawanan, tawanan mana kemudian menjadi pembawa Islam pertama ke pulau Jawa.
Apa yang telah dicapai oleh Kerajaan Samudra Pasai dimasa kejayaannya merupakan manifestasi dari sebuah peradaban yang diserap ketika Islam telah menjadi agama yang yang diyakini oleh orang-orang Aceh. Kemajuan Samudra Pasei disamping pemerintahan yang kuat juga memilik lembaga-lembaga yang teratur, ekonomi yang stabil, ilmu pengetahuan yang berkembang ditandai dengan banyaknya ulama dan penuntut ilmu yang datang mengajar dan belajar di Kerajaan Samudra Pasai. Setiap permasalahan agama yang timbul di kerajaan-kerajan Islam di Jawa dan Malaka kerap kali meminta fatwa dari ulama-ulama Pasai.
Setelah jatuhnya Pasai ke tangan Portugis pada tahun 1521 maka pusat peradaban pun berpindah ke kerajaan Aceh Darussalam dibawah pemerintahan sulthan-sulthan yang kuat dimasa itu. Sementara ada pula putra-putra Pasai yang meninggalkan tanah kelahirannya pergi merantau ke Jawa salah satu diantaranya adalah Fatahillah atau dengan nama lain Syarif Hidayatullah yang menjadi Panglima Perang Kerajaan Islam Demak. Setelah tiga tahun dikuasai Portugis, Pasai dapat dibebaskan dari cengkraman Portugis kemudian disatukan dalam pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam.
Sulthan-sulthan Kerajaan Samudra Pasai :
KERAJAAN SAMUDRA/PASAI | ||
433- 831 H - 1042 -1427 M | ||
Tahun Kekuasaan | Nama Sulthan | |
Hijriyah | Miladiyah | |
433 - 470 | 1042 - 1078 | Maharaja Mahmud Syah (Meurah Giri) |
470 - 527 | 1078 - 1133 | Maharaja Mansyur Syah |
527 - 550 | 1133 - 1155 | Maharaja Khiyassyuddin Syah |
550 - 607 | 1155 - 1210 | Maharaja Nurdin Sulthan Al-Kamil |
659 – 688 | 1261 - 1289 | Sulthan Malikus Salih |
688 – 725 | 1289 - 1326 | Sulthan Muhammad Malikud Dhahir |
725 – 750 | 1326 - 1350 | Sulthan Ahmad Malikud Dhahir |
750 – 796 | 1350 - 1394 | Sulthan Zaulabidin Malikud Dhahir |
796 – 801 | Maharaja Nagur Rabath Abdul kadir Syah | |
801 – 831 | 1400 - 1427 | Nihrasiyah Rawangsa Khadiju |
1513 | Sulthan Abdullah |
Ali Hasjmi – Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah
Penutup
Apa yang telah dicapai oleh kerajaan Samudra Pasai adalah gambaran sebuah peradaban yang penuh nilai-nilai sehingga sampai sa’at ini tidak henti-hentinya orang datang ke lokasi situs sejarah yang terletak di Kecamatan Samudra, Aceh Utara. Pada tanggal 28 Januari yang lalu serombongan mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Palembang melakukan studi tour ke Aceh melihat situs-situs sejarah yang ada di Aceh. Penulis sempat berjumpa dengan rombongan itu di Mesjid Agung Saree ketika hendak shalat subuh. Mereka mengagumi kegemilangan Aceh masa lalu yang sangat kuat dengan armada lautnya. Kerajaan Islam Peureulak pernah di serang oleh kerajaan Sriwijaya pada tahun 986 M dan mendudukinya selama beberapa tahun, namun tidak meninggalkan pengaruh apa-apa dalam peradaban. Aceh tetap saja Aceh yang sangat lekat dengan norma-norma agama Islam.
Eksistensi Samudra Pasai selama 482 tahun dan Kerajaan Darussalam 400 tahun tentulah sangat kental dengan nilai-nilai sejarah dan ini telah terbukti dengan karya-karya yang disadurkan oleh penulis asing dan penulis kita sendiri seperti H. Muhammad Said, H. M. Zainuddin, Ali Hasjmi dan lain-lain.
Gambaran diatas tentang peradaban merupakan sebuah cuplikan yang dapat penulis sajikan dari sekian banyak kekayaan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh Aceh, tentu saja belum menyintuh kepada permasalahan yang lebih dalam, disana-sini mungkin terdapat kekurangan yang memerlukan penyempurnaan lebih lanjut. Sebagai bangsa Aceh yang memilik sejarah besar dan sikap hidup yang dinamis dan heroik hendaknya dapat menatap sejenak akan masa lalu untuk mengambil sebuah sikap dan tekad untuk membangun Aceh yang baru, jujur, ulet dan berkualitas. Sejarah adalah sebuah cermin pengkoreksian.
di sampaikan pada Dikpoldem
Saree School, 12 Februari 2011
*peminat sejarah aceh, tinggal di IDI
Bahan bacaan :
1) Dr. Badri Yatim, M.A. – Sejarah Peradaban Islam, PT. RajaGrafindo Persada- Jakarta
2) Ali Hasjmi – Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Penerbit Beuna 1983 - Jakarta
3) H. M. Said – Aceh Sepanjang Abad, Waspada 1961 –[ Medan)
4). H.M. Zainuddin – Tarich Aceh dan Nusantara, Pustaka Iskandar 1961 – Medan
5). Prof. Dr. Mustrufah Sunanto - Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada- Jakarta
6). Prof. Dr. Hamka – Sejarah Umat Islam, Pustaka Nasional Pte.Ltd, 2005 Cet.Kelima, Singapore
7). Paul Michael Munof – Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia, Mitra Abadi 2009, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar