Rabu, 24 April 2013

Sepakbola dan Identitas Baru

Filled under: ,




Dulu sekali, Guru IPS saya di MIN Indrapuri sering menceritakan tentang sejarah bangsa indonesia dari sejak para pelaut portugis yang berlayar di lautan ganas, terombang ambing di pusaran pusaran samudra hingga akhirnya mereka sampai ke selat malaka dan berlabuh di Aceh. Malaka saat itu adalah Pelabuhan tersibuk di dunia, bahkan lebih sibuk dari Pelabuhan Muara sungai Yangtse di Shanghai. Adalah Alfonso Alberqueque yang memimpin armada armada super megah tersebut, dalam waktu sesingkat dua tahun pelabuhan strategis itu akhirnya di kuasai oleh Alfonso and the gank. perjalanan Alfonso saat itu adalah untuk menyiarkan misi layaknya bangsa bangsa Eropa lainnya, iya... 3G (Gold, Glory and Gospel)


Sekitar 5 Abad kemudian, seorang portugis lain bernama Christiano Ronaldo mengulang kehadiran alfonso di ujung paling barat Soematra. tentu dengan cara yang berbeda. bang Do tidak perlu berlama lama di kapal yang bau amis, terombang ambing berbulan bulan dan berhadapan dengan makhluk makhluk semacam jack Sparrow atau Davy Jones, atau paling parah bertemu dengan Edwar Newgate (Onepice Fans Will Know..hehehe). Bang Do cuma perlu duduk santai di dalam pesawat sambil Makan Singkong bersama pramugari pramugari yang aduhai..


Tujuannya pun lain, tujuan bang Do ke tanah Nanggroe adalah untuk bertemu dengan Martunis. siapakah Martunis? Fujiko Fujio dan Eichiro Oda adalah Martunis (nyan Kartunis!!). hehehe, back to topic.


Martunis adalah seorang anak Aceh yang survive dari bencana Smong tahun 2004 (masih ingat kan?). Ia di temukan wartawan sebuah media Inggris setelah 19 hari berada di tengah tengah lautan yang jauh dari rumahnya. saat ia di temukan, ia sedang memakai kaos timnas portugal. media inggris membawa kabar itu ke Eropa. Simpati dari masyarakat portugis, juga beberapa selebriti dunia seperti Celine Dion dan Madonna segera mengalir. selain mendapatkan bantuan Uang dan tiket nonton Timnas Portugal, juga Kunjungan Ronaldo ke tanah kelahirannya. kostum nasional portugal, Bajakan, telah membawa keberuntungan untuk martunis yang habis di timpa musibah.



Pertanyaannya kemudian adalah kenapa seorang Martunis, yang lahir dan tumbuh  di Aceh, yang tak pernah ke Portugal, dan bukan keturunan Portugis, bisa memakai kostum tim nasional Portugal? Bukankah semestinya Martunis memakai kostum tim nasional Indonesia atau Persiraja Banda Aceh, atau PSAB Aceh besar, atau IPPEMINDRA FC alih-alih tim Portugal.


Martunis memakai kaos timnas Portugal karena ia memang mengidolai tim nasional Portugal. Sama seperti sejumlah teman Kampus saya yang mengidolai klub-klub dari Eropa dan memakai kostumnya. Sama juga dengan orang Sekret IPPEMINDRA yang mengidolai Barcelona, Real Madrid dan AC MILAN (paling banyak fans)



Sebenarnya apa yang terjadi sehingga tim itu-itu bisa diidolai orang-orang yang berjarak ribuan kilometer dari stadion mereka? Mari sejenak menilik ke belakang. Kalau dulu timnas Italia di era Mussolini adalah cuma milik rakyat Italia, maka sekarang Pemuda meureu pun berhak ikut tertawa saat Timnas Italia menang dan bersedih kalau Timnas Italia kalah. Pemuda Meureu itu tak perlu pernah singgah di San Siro, atau memiliki ikatan lainnya dengan kota-kota itu, mereka hanya perlu menonton siaran langsung pertandingan sepakbola di televisi untuk menggilai sebuah tim. Dapat disebut bahwa distribusi emosi dalam sepakbola saat ini batasnya tak lagi jelas. Dimanapun berada, betapa jauhpun dari muasal tim idolanya, setiap anak manusia bisa mengikatkan emosinya pada tim-tim itu, yang lalu dimanifestasikan dengan dukungan dan pembelaan 
Secara demikian, bisakah disebut bahwa sepakbola telah membawa sebuah identitas baru? Bayangkan jika Martunis dilahirkan di jaman sebelum ada siaran langsung sepakbola, identitas yang mungkin melekat padanya adalah: orang Indonesia, orang Aceh (secara primordial), orang Banda Aceh (secara geografis), orang Islam (secara keagamaan), anak SD (secara strata pendidikan), dan lain lain. Namun karena ia dilahirkan di sebuah era dimana siaran langsung Liga Inggris dapat dinikmati secara gratis setiap akhir pekan, maka ia bisa memiliki identitas lain yang sifatnya tidak melekat sejak lahir, yaitu sebagai suporter Manchester United. Identitas itu terutama menjadi jelas, misalnya saat ia membela tim tertentu dari serangan verbal kawan-kawannya, saat memakai kostum tim itu dengan rasa bangga, atau saat rela tidak tidur/bangun tengah malam demi menonton pertandingan tim tersebut dan tidak melakukannya untuk tim lain.
Lalu bagaimana sepakbola bisa melahirkan identitas baru? Saya ingat sebuah kalimat berikut, popularitas dapat dicapai dengan dua jalan, prestasi atau sensasi. Sepakbola memiliki keduanya. Sepakbola adalah dunia prestatif. Seseorang akan dibilang sukses sebagai pesepakbola jika ia berprestasi. Fernando Torres mendapat hadiah Sepatu Emas Euro 2012 karena prestasinya membuat tiga gol dalam 5 pertandingan. Messi, Ronaldo, dihargai karena prestasinya sebagai pencetak gol terbanyak di liga Spanyol. Di sisi lain, sepakbola juga bisa lebih sensasional dari Dewi Perssik, digabung sama Jupe Perez sekalipun. Sepakbola selalu diiringi kontroversi. Misalnya saat Maradona mencetak gol menggunakan tangan di Piala Dunia ’86 yang disahkan wasit dan menyingkirkan Inggris dari turnamen. Atau tentang Andeas Escobar yang dibunuh penjudi yang kalah taruhan akibat gol bunuh dirinya di Piala Dunia ’94 menggagalkan kemenangan Kolombia sekaligus si penjudi itu. Semua hal tersebut menyebabkan sepakbola menjadi headline. Kenapa? Karena media suka sensasi. Makin kontroversial, makin membuat penonton atau pembacanya terlibat secara emosional, maka makin besarlah potensi keuntungan secara finansial yang bisa diraup. Simbiosis mutualisme? Mungkin.
(Zia Muntazar)

Posted By UnknownRabu, April 24, 2013